Rendahnya Kualitas Transportasi Publik Bojonegoro-Nganjuk

Pendahuluan

Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya memilih judul kualitas transportasi publik Bojonegoro-Nganjuk rendah. Tentu saja tujuannya agar tulisan ini diperhatikan oleh pemerintah kabupaten Bojonegoro. Selain itu, sebagai uneg-uneg masyarakat, terutama yang masih mengandalkan kendaraan umum (bukan yang online-online)

Hal ini saya pandang sebagai salah satu persoalan yang penting. Mengingat memang dengan berbagai kemajuan yang ada di Bojonegoro saat ini, masih ada sebagian masyarakat kita (baca: masyarakat Bojonegoro) yang benar-benar mengandalkan transportasi umum yang bukan online. Terutama golongan tua seperti mbah-mbah dan eyang kakung.

Transportasi Publik Bojonegoro-Nganjuk, Dahulu

Tulisan ini sebenarnya juga sebagai suara dari diri saya pribadi. Melihat ketimpangan yang begitu nyata antara transportasi publik Bojonegoro-Ngawi/Cepu dengan Bojonegoro-Nganjuk/Temayang. Yang pertama-tama gejalanya saya amati saat saya bersekolah di SMPN 1 Bojonegoro pada tahun 2005. Jarak antara rumah saya dengan sekolah saya sekitar 15 Km. Sejak memasuki pendidikan menengah, saya mulai akrab dengan transportasi publik sejenis angkutan kota, kol, dan bus. Terkadang saya naik bus dari rumah saya, atau terkadang diantar orang tua ke pasar Dander. Kemudian naik angkutan kota atau kami biasa menyebutnya len D.

Selama berkiprah sebagai pengguna transportasi publik Bojonegoro-Nganjuk, gejala ketimpangan antarwilayah begitu terasa. Yaitu berkaca pengalaman pribadi saya antara tahun 2005-2010. Transportasi publik Bojonegoro-Ngawi/Cepu memiliki jenis moda yang jauh lebih beragam dan waktu tunggu yang lebih pendek. Bahkan, terkadang lebih murah daripada transportasi publik Bojonegoro-Nganjuk.

Saat teman-teman saya yang rumahnya Kalitidu/Padangan sudah mendapatkan kendaraannya entah bus atau kol. Saya masih setia menunggu kendaraan di bangku pertigaan Jl. Untung Suropati. Hampir 10-15 menit kira-kira waktu tunggu untuk perjalanan ke arah Ngawi/Cepu saat itu. Sebaliknya, untuk arah Bojonegoro-Nganjuk/Bojonegoro-Temayang rata-rata 35-60 menit waktu tunggunya. Namun tentu saja, dahulu terkadang persaingan antara kol dan bus dalam memperebutkan penumpang masih sangat menarik bagi saya karena saya bisa sampai rumah lebih cepat hahaha, bisa cuma 15 menit sudah sampai rumah akibat adanya perebutan penumpang itu.

Kini Transportasi Publik Bojonegoro-Nganjuk Makin Miris

Namun, kini keadaan transportasi publik Bojonegoro-Nganjuk/Temayang lebih miris lagi. Tepatnya kemarin saat saya pulang ke Bojonegoro, 20 Maret 2019, sekitar pukul 14.20 saya sampai di Jetak dan mulai menunggu bus atau kol. Menunggu sampai sekitar 1 jam 28 menit 17 detik, tak satu pun bus ataupun kol terlihat menuju Nganjuk/Temayang.

Hingga sekitar 16.05 tiba-tiba ada tetangga desa yang memanggil dan mengangkut saya dan rombongan dengan mobil pribadi beliau. Kebetulan ada tetangga saya juga yang ikut menunggu bus di Jetak, mereka berjumlah 4 (empat) orang, keempat tetangga itu katanya telah menunggu sejak pukul 14.00. Mereka rombongan dari Wonogiri karena urusan keluarga katanya. Kesaksian istri tetangga saya yang punya mobil itu bahkan lebih miris, beliau saat akan menuju ke kota dari desa kami menunggu bus dari pukul sekitar 13.00 sampai sekitar pukul 15.00.

Bundaran Jetak Bojonegoro

Bundaran Jetak Bojonegoro

Warga menanti bus Bojonegoro-Nganjuk

Warga menanti bus Bojonegoro-Nganjuk

Yang Mungkin Bisa Dilakukan

Tinggi rendahnya kualitas transportasi publik dapat dinilai salah satunya dari segi aksesibilitas. Aksesibilitas transportasi biasanya diukur dari waktu tempuh dan biaya transportasi. Dalam kasus Bojonegoro-Nganjuk, ada suatu dilema. Karena masyarakat mudah memperoleh kendaraan bermotor, bahkan bisa dengan hutang, masyarakat beralih ke kendaraan pribadi. Karena banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, biaya yang harus ditanggung penyedia swasta melonjak. Dengan keuntungan yang turun dan biaya yang naik, otomatis usaha seret. Dampaknya jumlah armada transportasi publik yang ditawarkan semakin sedikit. Mbah-mbah dan eyang kakung semakin kesulitan, atau aksesibilitas mereka semakin memprihatinkan.

Pemerintah bisa meningkatkan akses dengan cara macam-macam. Contohnya dengan subsidi penyedia transportasi publik. Atau cara lain membatasi pemilikan kendaraan bermotor. Yaitu yang boleh beli minimal DP 35%. Atau pemerintah memberi pajak transportasi publik bagi anak sekolah sehingga penyedia transportasi publik terjamin mendapat penumpang anak sekolah. Karena mereka yang akan antar jemput anak-anak ke sekolah. Atau meningkatkan pajak kendaraan bermotor yang hasilnya digunakan untuk subsidi transportasi publik. Atau menggandeng program bantuan pemerintah dengan frekuensi penggunaan transportasi publik. Jadi semakin banyak transaksi semakin lancar bantuan pemerintahnya. Atau mewajibkan PNS menggunakan transportasi publik setiap hari tertentu.

Dwi Aditya Indra Lesmana

Seorang anak desa dengan kemampuan rata-rata

You may also like...

2 Responses

  1. Ali says:

    Semoga bus bojonegoro – nganjuk ada lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published.